saya

Tak sedikit orang bermarga mengeluhkan dirinya dituduh sebagai Batak Dalle (BD) karena pilihan politik pada Pilgubsu 27 Juni 2018 yang lalu. Orang bermarga yang dituduh BD ini pendukung Eramas, bukan Djoss. Artinya agar tidak BD haruslah mendukung dan memilih Djoss. Itulah esensi tuduhan itu.

Umumnya BD difahami sebagai julukan untuk orang Batak atau keturunan Batak yang tidak paham (lagi) adat istiadat dan bahasa asli ibunya. Mungkin awalnya dulu digunakan untuk menyebut orang Batak yang sudah bermukim di sekitar Asahan. Konsep Batak Pardembanan (Harry Parkin, 1978), sebagai sebuah wilayah yang menjadi tujuan migrasi Toba, merujuk pada wilayah itu.

Meski pada umumnya tak sedikit di antara mereka yang tetap menggunakan marga, tetapi tidak mengerti lagi bahasa ibu dan adat Batak. Memang di seluruh pesisir dahulu dikenal istilah “masuk Melayu” ketika seseorang menjalani sunat atau memutuskan konversi keagamaan (muallaf). Belakangan ada fenomena retribalisme, sebuah kesadaran untuk menunjukkan identitas lama (sebagai Batak), dan dianggap tak harus deferior meski sudah menjadi muslim.

Dengan begtu jelas bahwa BD sejatinya sedari awal dimaksudkan untuk pengkategorian Batak yang melakukan adaptasi di perantauannya terutama karena mereka difahami sebagai orang Batak yang sudah menjadi muslim dan dengan agamanya itu menjadi begitu berbeda dengan Batak lainnya. Tak urung mereka tidak saja dipandang deviatif dari ukuran nilai standar, tetapi juga menolak banyak hal dari everyday life Batak lainnya.

Mungkin tidak begitu disadari bahwa belakangan keturunan Batak apa saja (Toba, Simalungun, Angkola, Mandailing, Karo dan Pakpak) pun, yang tidak bisa berbahasa Batak dan tidak faham adat istiadat, di antara sebabnya karena tinggal di perantauan, juga disebut BD.

Selain itu muslim di tanah Batak sering juga dijuluki parsubang hanya karena mereka tak memakan makanan yang oleh agama mereka dipantangkan. Istilah ini mungkin akan dianggap jauh lebih lunak. Meskipun sejatinya parsubang itu digunakan untuk menyebut orang yang berpatang makanan tertentu, tetapi jika diingat kapan sajian utama pesta adat tak lagi terbatas pada horbo (kerbau), hambing (kambing), manuk (ayam) dan ihan (ikan), sesuatu menjadi lebih jelas bahwa aspek agama sangat menonjol dalam kasus-kasus ini.

Penonjolan Batak sebagai non-muslim kerap terlihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan plang sebuah usaha berbunyi “Rumah Makan Khas Batak”. Umumnya disebut Rumah Makan Khas Batak adalah karena menu khasnya yang menonjolkan makanan haram bagi yang beragama Islam. Klaim ini sangat semena-mena, dan sangat ahistoris. Sejatinya tidak ada hak siapa pun mengklaim Batak itu identik dengan agama apa pun.

Sebetulnya pada kepentingan tertentu inklusivitas umumnya sangatlah luar biasa pada orang Batak sehingga dongan tubunya (saudara semarga) yang berlainan agama pun tetaplah dianggap satu darah (genealogis). Tetapi di sini tak jarang terjadi ancaman kemenduaan karena semua agama memiliki unsur missionaristik dan masing-masing memiliki obsesi mendirikan kerajaan Tuhan di bumi. Iman punya kehendak sendiri sedangkan adat berjalan kerap di luarnya. Tikai iman menyebabkan kerenggangan, baik dilihat kepada fenomena penggunaan kategori parsubang maupun untuk posisi mereka yang dikategorikan BD.

Tampaknya akan besar kesalahan jika menerima pemahaman bahwa parsubang dan BD itu hanyalah sekadar pengkategorian semata, karena di dalamnya juga terdapat maksud tuduhan peyoratif diukur dari anggapan suprematif pengguna dan yang berkepentingan terhadap kedua istilah itu, terutama istilah BD.

Mungkin tidak persis sama, jika seseorang berislam tapi tak sepenuh hati hingga dalam perilaku hidup tak mencerminkan keyakinan religius. Ketika di sini dimunculkan istilah fiqh (kafir, fasik, munafik dan lain sebagainya) yang melukiskan perilaku keagamaan yang tak mencerminkan konsistensi dan kekaffahan mengemban identitas (muslim), maka sekat dalam interaksi pun terbangun dengan sendirinya. Rasanya makin mudah saja memperbandingkan motif di balik pelabelan (BD) tadi.

Johan Hasselgren (2000) dalam bukunya “Rural Batak, Kings in Medan: The development of Toba Batak Ethno-Religious Identity In Medan, Indonesia, 1912-1965, menjelajahi sejarah Batak Toba di Medan, dalam kerangka etnik, agama, sosial dan politik di kota itu. Ia menggunakan konsep identitas etno-religius dan membahasnya dalam hal interaksi dengan daerah asal mereka di Tapanuli, etnik dan kelompok agama lain di Medan dan upaya organisasi Batak Toba yang didirikan di kota Medan.

Perkembangan historis dari identitas etno-religious Batak Toba, seperti yang dikembangkan di Tapanuli, berakar pada interaksi Batak Toba dengan kegiatan dan keyakinan teologis Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang berasal dari Jerman, yang melahirkan prosesvolkschristianiiferung yang sangat berhasil.

Selama periode yang diteliti, Hasselgren mendapatkan Medan berubah dari sebuah kota kolonial dengan dominasi penduduk pribumi Muslim Melayu yang harus diperhitungkan menjadi “kota minoritas” setelah 1950, yang di dalamnya kelompok etnis Muslim dan Kristen berkompetisi dan saling adu pengaruh.

Dalam proses itu komunitas Batak Toba dan organisasinya menjadi faktor penting. Mereka menempuh cara untuk memungkinkan Batak Toba berubah dari kelompok kecil yang tadinya merasa penting memutuskan untuk menyembunyikan identitas mereka ke dalam kelompok, yang setelah 1950 dengan percaya diri berusaha mengambil alih Medan. Melalui pendirian lembaga-lembaga, mereka juga berkontribusi pada pengembangan masyarakat secara luas.

Oleh Hasselgren dilukiskan bahwa komunitas Batak Toba di Medan berkembang dari sebuah pos terbatas yang hanya dapat dijangkau oleh beberapa individu berpendidikan menjadi sebuah magnet yang menarik ribuan orang dari daerah pedesaan Tapanuli. Gelombang ini dimaknai sebagai perjuangan untuk memenuhi cita-cita budaya, di antaranya obsesi mendirikan ideal harajaon (kerajaan).

Menurut catatan Hasselgren, sejak berafiliasi dengan RMG untuk pengembangan Gereja kampung setelah tahun 1950, Batak Toba menujukkan kemampuan dan menemukan kegairahan menjaga identitas etnis dan agama mereka secara terintegrasi. Perkembangan yang menarik dimulai pada tahun 1920-an, ketika Toba berusaha sesegara mungkin mendirikan jemaat gereja etnis sendiri yang kelak kenyataannya secara organisasional menjadi tulang punggung kekristenan Batak Toba di Medan.

Perkembangan organisasi politik Batak Toba pun menunjukkan bahwa dalam situasi etnisitas di Medan kala itu, tradisi utama dari kelompok-kelompok politik kecil pada 1930-an hingga keberhasilan PARKINDO setelah 1945, adalah untuk membangun organisasi yang memungkinkan terpromosikannya kepentingan etno-religius. Bersamaan dengan itu, organisasi-organisasi ini memberikan jawaban atas tantangan bagaimana mereka, sebagai orang Kristen, menjadi aktor yang bertanggung jawab dalam kehidupan politik bangsa.

Berkenaan dengan tumbuhnya berbagai organisasi sukarela Batak Toba, hubungan dengan struktur Gereja formal tetap sangat penting selama fase pertama migrasi mereka. Meskipun hubungan formal dengan organisasi gereja terus semakin penting, tak dengan sendirinya bermakna fenomena keragaman organisasi yang muncul menjadi ancaman. Hal itu hanyalah merupakan efek dari peningkatan komunitas dan posisi kelompok yang semakin mapan dan justru malah memperkuat.

Di sini pun harus dicatat bahwa untuk tujuan yang berbeda, orang Batak Toba juga mencari mitra di luar kelompok mereka sendiri. Hal itu untuk mendapatkan kekuatan dengan tetap menekankan identitas etno-religius tunggal mereka. Dalam kebangkitan Batak tahun 1920-an, mereka juga berusaha mendapatkan kekuatan dengan bersekutu dengan kelompok-kelompok Muslim Batak dengan tetap menekankan identitas Batak yang umum. Di sana mereka bermain lincah mengaburkan fakta bahwa mereka adalah orang Kristen meski tetap saja, dalam situasi yang berbeda, terus-menerus menekankan unsur Kristen dalam identitas mereka.

Salah satu contoh terpenting adalah berbagai upaya ekumenis yang membuka kesempatan bagi mereka untuk mengambil bagian. Kadang-kadang, kerjasama hanya terbatas pada kelompok etnis mereka sendiri, tetapi kecenderungan utama adalah untuk menekankan identitas bersama dengan orang Kristen dari kelompok etnis lain. Situasi etnis dan denominasi di Medan telah memberi peluang besar bahwa kota ini adalah konteks yang subur untuk mengembangkan kerja sama ekumenis. Berbagai upaya politik Batak Toba juga mewakili cara mencari minat yang sama dengan orang Kristen yang aktif secara politik di Indonesia.

Tuduhan BD ini cukup serius, karena pada akhirnya jelas terasa tak sekadar kategorisasi belaka, melainkan lebih didasari oleh sikap politik berdasarkan keyakinan agama. Rupanya kekerapan orang menyatakan agama dan politik itu harus dipisahkan hanya diperlukan untuk sekadar menyembunyikan motif kepentingan politik keagamaan tertentu.

Mari kira perluas dengan mengutip contoh-contoh populer belakangan dalam politik Indonesia. Pihak muslim yang kerap beroleh tuduhan sebagai pengguna SARA, bahkan tak jarang disebut menjual agama untuk kepentingan politik, adalah korban kebohongan belaka. Bagaimana membuktikannya? Untuk kasus pilgubsu 2017, jika dikonfirmasi dengan peta perolehan suara pasangan Eramas dan Djoss, maka politik identitas itu memang tak mungkin dinafikan.

Satu hal kini menjadi semakin penting dipikirkan, bukankah BD itu sekaligus menjelaskan perasaan sebagai pemegang posisi suprematif ? Mengapa ia menganggap dirinya suprematif? Ini perlu pendalaman meski tak sedikit ahli yang sudah berusaha menjelaskannya.

Kini permasalahan besarnya ialah agenda pelurusan sejarah dan menumbuhkan keberanian membangun paradigma baru kesetaraan dalam perbedaan yang tak mungkin dikompromikan terutama dalam agama dan kebudayaan turunannya.

Ini agenda kebangsaan. Orang Islam menganggap dakwah adalah kewajibannya di permukaan bumi meski ia harus bergerak dengan pakem utama dakwah la ikraha fiddin (tak boleh memaksakan agama). Atas dasar Al-kitab orang Kristen dan Katholik juga akan terus aktif dalam misi evangelisasi selama nyawa masih dikandung badan. Negeri ini telah tiba pada suatu etape kehidupan yang menyediakan banyak data perbandingan dan pelajaran harmoni dalam perbedaan.

 

Shohibul Anshor Siregar
Naskah ini pertamakli diterbitkan oleh Harian WASPADA
Medan, Senin 9 Juli 2018, hlm B7